Menurut
Ki Hadjar Dewantara, mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses
memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani
(Dewantara, 2013). Dalam mendidik, ada pembelajaran yang merupakan komunikasi
eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan
dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa
manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden
dari sifat alami manusia (humanis).
Pendidikan
tidak terbatas pada proses belajar, akan tetapi pendidikan harus mampu
menggerakan semua dimensi nilai kemanusiaan agar manusia memiliki bekal untuk
hidup sejahtera, bahagia dan bermakna bagi kehidupan. Pendidikan adalah proses
untuk membentuk dan mengembangkan kecerdasan manusia yang memiliki nilai- nilai
karakter yang mampu untuk mempertahankan eksistensi dirinya dalam proses
perubahan sosial-budaya (Dwiningrum, 2014).
Dalam
konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, ada dua hal yang harus dibedakan yaitu
sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain
(Dewantara, 2013). Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup
lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Pendidikan lebih memerdekakan manusia dari
aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat,
mentalitas demokratik).
Salah
satu konsep pendidikan yang fundamental dari pemikiran Ki Hajar Dewantara
adalah “Azas Tamansiswa 1922” yang menjadi dasar berdirinya “Dasar Pancadarma
Tamansiswa”.
Tabel Konsep Dasar Pancadarma
Dasar dan Ciri
Khas Pendidikan |
Deskripsi |
Dasar Kodrat
Alam |
sebagai
perwujudan kekuasaan Tuhan mengandung arti, bahwa pada hakekatnya manusia
sebagai makhluk Tuhan, adalah satu dengan alam semesta ini. Karena itu
manusia tidak dapat lepas dari kehendak hukum-hukum kodrat alam. |
Dasar
Kemerdekaan |
mengandung arti,
bahwa kemerdekaan sebagai karunia Tuhan kepada semua makhluk (manusia) yang
memberikan kepadanya “hak untuk mengatur hidupnya sendiri” dengan selalu mengingat syarat-syarat
tertib damainya hidup bersama dalam masyarakat. |
Dasar Kebudayaan |
mengandung arti,
keharusan memelihara nilai-nilai dan bentuk-bentuk kebudayaan nasional. Dalam
memelihara kebudayaan nasional itu, yang pertama dan terutama ialah membawa
kebudayaan nasional ke arah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman dan
kemajuan dunia. |
Dasar Kebangsaan |
mengandung arti,
adanya rasa satu bersama bangsa sendiri dalam suka dan duka, dan dalam
kehendaknya mencapai kebahagiaan hidup lahir-batin seluruh bangsa. |
Dasar
Kemanusiaan |
mengandung arti,
bahwa kemanusiaan itu ialah norma tiap-tiap manusia yang timbul dari
keluhuran akal budinya. Keluhuran akal budi menimbulkan rasa dan laku
cinta-kasih terhadap sesama manusia dan terhadap makhluk Tuhan seluruhnnya
yang bersifat keyakinan akan adanya hukum kemajuan yang meliputi alam
semesta. |
Sumber: Boentarsono (2017: 53-54)
Prinsip
pendidikan yang dikembangkan oleh Ki Hadjar Dewantara adalah Tri Pusat
Pendidikan. Menurut Ki Hajar Dewantara (2013), yang maknanya bahwa dalam
hidupnya anak-anak terdapat tiga tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan
yang sangat penting baginya, yaitu alam keluarga, alam perguruan dan
alam pergerakan pemuda. Pendidikan akan menjadi sempurna apabila usaha
pendidikan itu tidak hanya dibebankan pada sikap dan tenaganya si pendidik,
tetapi harus juga beserta suasana (atmosfer) yang sesuai dengan maksudnya
pendidikan. Oleh karena itu, ketiga pusat pendidikan tersebut wajib dimasukkan
ke dalam sistem pendidikan (Dwiningrum, 2014)
Ki
Hadjar Dewantara menekankan pentingnya sikap seorang pendidik dalam
mengembangkan relasi sosial dalam proses pembelajaran, yakni ke arah
terlaksananya hubungan yang baik atau terjadi integrasi antara ketiga pusat
pendidikan tersebut, serta didukung dengan metode among, yang berdasarkan pada
landasan nilai-nilai moral, etika dan kultural serta Tutwuri Handayani, dengan
mempergunakan pengaruh pendidikan sebanyak-banyaknya pada tiap-tiap pusat
pendidikan.
Kata
among berasal dari bahasa Jawa, yang mempunyai makna seseorang yang bertugas
„ngemong‟ dan jiwanya penuh pengabdian. Dalam sistem among, maka pengajaran
berarti mendidik anak akan menjadi manusia yang merdeka batinnya, merdeka
pikirannya, dan merdeka tenaganya. Guru atau pamong tidak hanya memberikan
pengetahuan yang perlu dan baik saja, melainkan juga harus mendidik murid agar
dapat mencari sendiri pengetahuan itu dan memakainya guna kehidupan
sehari-harinya dan amal keperluan umum.
Dalam
sistem among, setiap pamong sebagai pemimpin diwajibkan bersikap: ing ngarsa
sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tutwuri handayani (Dewantara, 2013)
Sistem |
Deskripsi |
Ing ngarsa sung tuladha |
Ing ngarsa berarti di depan, atau orang
yang lebih berpengalaman atau lebih berpengetahuan. Tuladha berarti memberi
contoh atau memberi tauladan |
Ing madya mangun karsa |
Ing madya berarti di tengah-tengah, yang
berarti dalam pergaulan dan hubungannya sehari-hari secara harmonis dan
terbuka, sedangkan mangun karsa artinya adalah membina kehendak, kemauan dan
hasrat untuk mengabdikan diri kepada kepentingan umum, kepada cita-cita yang
luhur |
Tutwuri handayani |
Tutwuri berarti mengikuti dari belakang
dengan penuh tanggungjawab berdasarkan cinta dan kasih sayang yang bebas dari
pamrih dan jauh dari sifat authoritative, possessive, protective, dan
permissive yang sewenang-wenang. Handayani memiliki arti memberi kebebasan,
kesempatan dengan perhatian dan bimbingan yang memungkinkan anak didik atas
inisiatif sendiri dan pengalaman sendiri, supaya mereka berkembang menurut
garis kodratnya. |
Contoh
penerapannya :
Ketika
dalam proses pembelajaran di kelas guru tidak hanya memberikan materi-materi
pelajaran saja, namun juga memberikan materi tentang nilai kehidupan dan
kemanusiaan. Hal ini dapat diwujudkan dengan memberikan cerita-cerita inspirasi
dan motivasi bagi siswanya, sehingga siswa diharapkan bisa lebih maju dalam
belajar. Jika guru selalu memberikan semangat kepada siswanya, maka siswa akan
lebih giat karena merasa diperhatikan dan selalu mendapat pikiran-pikiran
positif dari gurunya sehingga anak selalu memandang ke depan dan tidak terpaku
pada kondisinya saat ini.
Daftar
Pustaka :
Dewantara,
K. H. (2013a). Pemikiran, konsepsi, keteladanan, sikap merdeka (I) pendidikan.
Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa.
Dewantara,
K H. (2013b). Pemikiran, konsepsi, keteladanan, sikap merdeka (II) Kebudayaan.
Yogyakarta: Majelis Luhur Tamansiswa.
Boentarsono
(Ed). 2016. Buku Saku Tamansiswa Badan Perjuangan Kebudayaan dan Pembangunan
Masyarakat. Yogyakarta: UST Press.
Dwiningrum,
dkk. 2020. Modul Mata Kuliah Literasi Sosial dan Kemanusiaan. Yogyakarta : Universitas
Negeri Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar